Refleksi
Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika oleh Dr. Marsigit, MA.
Filsafat itu bijaksana.
Filusuf-filusuf selalu berusaha untuk menggapai bijaksana. Tidak ada orang yang
bijaksana, kecuali mereka yang memang diberikan amanah oleh Tuhan, yaitu para
Nabi. Tetapi sebenarnya, tidak ada orang yang benar-benar bisa bijaksana di
dunia ini, karena yang Maha Bijaksana hanyalah Tuhan.
Sebagian besar orang menganggap bahwa
orang yang bijaksana adalah orang yang berilmu, yang menerapkan
ilmunya, yang mempunyai cipta, rasa dan karsa. Bagi orang-orang barat, orang
yang bijaksana adalah orang yang mencari ilmu. Sedangkan bagi orang-orang
timur, orang yang bijaksana adalah orang yang memberikan ilmu. Dan ketika
sekali lagi ada pertanyaan mengenai apakah filsafat itu bijaksana? Maka kita
harus menjawab “iya, filsafat itu identik dengan kebijaksanaan”. Selain identik
dengan kebijaksanaan, filsafat itu juga merupakan olah pikir. Tetapi tidak semua
olah pikir adalah filsafat.
Sesungguhnya setiap orang itu telah
berfilsafat. Ketika mereka bertanya dengan diawali kata “mengapa”, maka itulah
ciri orang yang telah berfilsafat. Kemudian setelah bertanya “mengapa”, dia
berusaha untuk mencari jawaban dengan membaca referensi-referensi yang ada,
maka sesungguhnya dia telah berfilsafat. Hal seperti itu seringkali dilakukan
setiap orang, tetapi mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka telah
berfilsafat.
Dalam
berfilsafat, hal yang bisa dikatakan berbahaya yaitu jika berfikir parsial.
Parsial bisa dikatakan sebagai penyakit dalam filsafat. Jika kita bertanya
dalam diri kita sendiri, mampukah kita memikirkan perjalanan dari dunia ke
akhirat? Mungkin itu sebagai salah satu contohnya, dan masih banyak contoh yang
lain. Dalam dunia spiritual, sebenarnya semua manusia di dunia itu sama dalam
hal sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan yang membedakan antara manusia satu dengan
yang lainnya yaitu tingkat keimanan, ketaqwaan dan keikhlasannya.
Dan kembali berbicara mengenai berfilsafat
dalam spiritual, saya menjadi teringat kisah tentang seorang Syeh Siti Jenar berani
mangaku-ngaku bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal ini sangat jauh dari kata
kebijaksanaan. Sebenarnya tidak hanya Syeh Siti Jenar yang mengaku-ngaku
sebagai Tuhan. Bahkan secara tidak sadar mungkin kita pernah berbuat demikian.
Misalnya ketika kita merasa bahwa diri kita sangat spesial dalam suatu
lingkungan. Kita tidak menyadari bahwa ternyata hal tersebut secara tidak
langsung mencerminkan bahwa kita mengaku-ngaku sebagai Tuhan. Seseorang yang
menganggap dirinya adalah Tuhan berarti dia tidak mempunyai jiwa spritual yang
baik, karena dia berlaku sombong, bahkan sombong yang begitu luar biasa.
Padahal sombong adalah dosa pertama dan paling besar. Seseorang yang mengaku
Tuhan, maka sebenarnya dia telah tercampakkan dari hadapan Tuhan. Mengaku
adalah kesadaran dalam pikiran, dan pikiran harus dilandasi dengan spiritual,
karena spritual yang harus selalu diutamakan.
Dari
kisah Syeh Siti Jenar, kita juga bisa belajar bahwa kita sebagai manusia biasa
tidak mempunyai kuasa atau hak untuk menge-judge
orang lain. Karena kita tidak akan pernah tau baik dan buruk seseorang yang
sebenarnya. Jangankan untuk orang lain, bahkan untuk diri sendiri pun kita masih
belum bisa. Yang mempunyai kuasa dan satu-satunya yang berhak untuk menge-judge seseorang adalah Tuhan. Oleh
karena itu, pemahaman spiritual kita harus selalu ditingkatkan, kita tidak
cukup untuk belajar agama secara konvensional saja, tetapi implementasi juga
sangat penting untuk selalu ditingkatkan. Semakin tinggi spiritual seseorang
maka dia akan jauh dari rasa ego dan rasa sombong.
Pertanyaan:
Apakah makna dari transformasi dunia dan
transformasi spiritual dengan kaitannya mengenai berpikir parsial?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar