Jumat, 14 September 2012

FILSAFAT DAN SPIRITUAL


Refleksi Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika oleh Dr. Marsigit, MA.
Filsafat itu bijaksana. Filusuf-filusuf selalu berusaha untuk menggapai bijaksana. Tidak ada orang yang bijaksana, kecuali mereka yang memang diberikan amanah oleh Tuhan, yaitu para Nabi. Tetapi sebenarnya, tidak ada orang yang benar-benar bisa bijaksana di dunia ini, karena yang Maha Bijaksana hanyalah Tuhan.
Sebagian besar orang menganggap bahwa orang yang bijaksana adalah orang yang berilmu, yang menerapkan ilmunya, yang mempunyai cipta, rasa dan karsa. Bagi orang-orang barat, orang yang bijaksana adalah orang yang mencari ilmu. Sedangkan bagi orang-orang timur, orang yang bijaksana adalah orang yang memberikan ilmu. Dan ketika sekali lagi ada pertanyaan mengenai apakah filsafat itu bijaksana? Maka kita harus menjawab “iya, filsafat itu identik dengan kebijaksanaan”. Selain identik dengan kebijaksanaan, filsafat itu juga merupakan olah pikir. Tetapi tidak semua olah pikir adalah filsafat.
Sesungguhnya setiap orang itu telah berfilsafat. Ketika mereka bertanya dengan diawali kata “mengapa”, maka itulah ciri orang yang telah berfilsafat. Kemudian setelah bertanya “mengapa”, dia berusaha untuk mencari jawaban dengan membaca referensi-referensi yang ada, maka sesungguhnya dia telah berfilsafat. Hal seperti itu seringkali dilakukan setiap orang, tetapi mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka telah berfilsafat.
Dalam berfilsafat, hal yang bisa dikatakan berbahaya yaitu jika berfikir parsial. Parsial bisa dikatakan sebagai penyakit dalam filsafat. Jika kita bertanya dalam diri kita sendiri, mampukah kita memikirkan perjalanan dari dunia ke akhirat? Mungkin itu sebagai salah satu contohnya, dan masih banyak contoh yang lain. Dalam dunia spiritual, sebenarnya semua manusia di dunia itu sama dalam hal sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya yaitu tingkat keimanan, ketaqwaan dan keikhlasannya.
Dan kembali berbicara mengenai berfilsafat dalam spiritual, saya menjadi teringat kisah tentang seorang  Syeh Siti Jenar berani mangaku-ngaku bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal ini sangat jauh dari kata kebijaksanaan. Sebenarnya tidak hanya Syeh Siti Jenar yang mengaku-ngaku sebagai Tuhan. Bahkan secara tidak sadar mungkin kita pernah berbuat demikian. Misalnya ketika kita merasa bahwa diri kita sangat spesial dalam suatu lingkungan. Kita tidak menyadari bahwa ternyata hal tersebut secara tidak langsung mencerminkan bahwa kita mengaku-ngaku sebagai Tuhan. Seseorang yang menganggap dirinya adalah Tuhan berarti dia tidak mempunyai jiwa spritual yang baik, karena dia berlaku sombong, bahkan sombong yang begitu luar biasa. Padahal sombong adalah dosa pertama dan paling besar. Seseorang yang mengaku Tuhan, maka sebenarnya dia telah tercampakkan dari hadapan Tuhan. Mengaku adalah kesadaran dalam pikiran, dan pikiran harus dilandasi dengan spiritual, karena spritual yang harus selalu diutamakan.
Dari kisah Syeh Siti Jenar, kita juga bisa belajar bahwa kita sebagai manusia biasa tidak mempunyai kuasa atau hak untuk menge-judge orang lain. Karena kita tidak akan pernah tau baik dan buruk seseorang yang sebenarnya. Jangankan untuk orang lain, bahkan untuk diri sendiri pun kita masih belum bisa. Yang mempunyai kuasa dan satu-satunya yang berhak untuk menge-judge seseorang adalah Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman spiritual kita harus selalu ditingkatkan, kita tidak cukup untuk belajar agama secara konvensional saja, tetapi implementasi juga sangat penting untuk selalu ditingkatkan. Semakin tinggi spiritual seseorang maka dia akan jauh dari rasa ego dan rasa sombong.

Pertanyaan:
Apakah makna dari transformasi dunia dan transformasi spiritual dengan kaitannya mengenai berpikir parsial?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar