Senin, 24 September 2012

HATI, PIKIRAN DAN ILMU


Refleksi Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika oleh Dr. Marsigit, MA.
Tugas 3 (18 September 2012)
Seberapa pentingkah hubungan antara hati dan pikiran? Mungkin pertanyaan tersebut sering dilontarkan oleh beberapa orang. Apakah hati atau pikiran terlebih dahulu yang harus didahulukan? Dan masih ada bahkan banyak orang yang terjebak dalam  memaknai antara hati dan pikiran. Terkadang mereka juga tidak tepat dalam menghubungkan antara hati dan pikiran. Sebenarnya antara hati dan pikiran memanglah harus seimbang. Tetapi setinggi-tinggi pikiran yang kita miliki janganlah sampai melampaui hati. Karena hati mencerminkan spiritual, dan spiritual adalah hal yang paling tinggi.
Kemampuan berpikir yang dimiliki oleh manusia sangatlah terbatas. Tetapi tidak sedikit dari orang-orang “barat” menggunakan pikirannya melampaui keterbatasannya. Mereka berpikir dan meneliti tentang nyawa, ruh, dan adanya Tuhan. Sangat jelas bahwa mereka sudah melewati batas.  Nyawa dan Ruh mempunyai dimensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan dimensi manusia. Dan sebagai manusia, hendaklah berpikir sesuai dengan dimensi yang dimiliki. Penelitian tentang nyawa dan ruh yang dilakukan oleh orang-orang barat sering mengalami kegagalan. Karena memang bukan ranahnya mereka untuk meneliti hal tersebut.
Segala sesuatu baik yang ada dan yang mungkin ada mempunyai dimensi yang berbeda-beda.Obyek yang dipikirkan mempunya dimensi, Subyek yang memikirkan juga berdimensi, dan bahkan metode untuk memikirkan obyek tersebut juga mempunyai dimensi berbeda-beda. Namun, metode yang paling tinggi diantara segala metode adalah metode spiritual. Contohnya, mereka yang menggunakan metode spiritual akan memikirkan sesuatu berdasarkan kitab suci agama yang mereka yakini, dan mencari jawaban dari apa yang dipikirkan dengan cara beribadah dan menggunakan kitab suci.
Pikiran manusia memang terbatas, namun kemampuan otak tersebut dapat dilatih. Dilatih untuk mengingat dan dilatih untuk melupakan. Tidak hanya kemampuan mengingat saja yang penting, akan tetapi kemampuan melatih juga sangat penting. Tidak bisa dibayangkan jika setiap manusia tidak bisa melupakan hal-hal yang terjadi pada dirinya semenjak bayi hingga menjadi tua. Semua hal akan selalu diingat, bahkan untuk kejadian-kejadian traumatik yang bisa membuatnya menjadi stres atau down. Jadi kemampuan otak untuk melupakan juga mempunya peranan penting.
Cara terbaik untuk melatih kemampuan mengingat dan melupakan yaitu dengan adanya interaksi. Interaksi yang dilakukan adalan interaksi dengan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Secara psikologi, yang berhubungan dengan dunia luar ada kaitannya dengan kesadaran, baik kesadaran hati maupun kesadaran pikiran. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kesadaran tidak hanya di dalam pikiran, tetapi seluruh anggota tubuh dan bahkan sel-sel pembentuknya mempunyai kesadaran. Dan bagaimana caranya untuk menyadari hal tersebut? Maka unsur dasarnya adalah sebuah potensi. Potensi yang meliputi ada dan yang mungkin ada.
Bagi orang-orang yang mencari ilmu, sebenarnya juga ada tingkatannya. Setinggi-tinggi atau sebesar-besar orang mencari ilmu adalah dia yang mencari ilmu dan kemudian bermanfaat bagi orang banyak di seluruh dunia ini. Dan serendah-rendahnya mencari ilmu adalah dia yang mencari ilmu hanya bagi dirinya sendiri. Jadi bagi seseorang yang berilmu, sebaiknya janganlah dipendam untuk diri sendiri, akan tetapi di share kan kepada orang-orang lain. Karena kebermanfaatan bagi orang banyak juga akan menjadi hal yang sangat penting bagi kehidupan ini.

Pertanyaan:
Setiap ahli filsafat mengemukakan pendapat mengenai definisi ilmu yang berbeda-beda. Sebenarnya apa yang melatarbelakangi definisi-definisi ilmu tersebut bagi mereka?


Jumat, 14 September 2012

FILSAFAT DAN SPIRITUAL


Refleksi Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika oleh Dr. Marsigit, MA.
Filsafat itu bijaksana. Filusuf-filusuf selalu berusaha untuk menggapai bijaksana. Tidak ada orang yang bijaksana, kecuali mereka yang memang diberikan amanah oleh Tuhan, yaitu para Nabi. Tetapi sebenarnya, tidak ada orang yang benar-benar bisa bijaksana di dunia ini, karena yang Maha Bijaksana hanyalah Tuhan.
Sebagian besar orang menganggap bahwa orang yang bijaksana adalah orang yang berilmu, yang menerapkan ilmunya, yang mempunyai cipta, rasa dan karsa. Bagi orang-orang barat, orang yang bijaksana adalah orang yang mencari ilmu. Sedangkan bagi orang-orang timur, orang yang bijaksana adalah orang yang memberikan ilmu. Dan ketika sekali lagi ada pertanyaan mengenai apakah filsafat itu bijaksana? Maka kita harus menjawab “iya, filsafat itu identik dengan kebijaksanaan”. Selain identik dengan kebijaksanaan, filsafat itu juga merupakan olah pikir. Tetapi tidak semua olah pikir adalah filsafat.
Sesungguhnya setiap orang itu telah berfilsafat. Ketika mereka bertanya dengan diawali kata “mengapa”, maka itulah ciri orang yang telah berfilsafat. Kemudian setelah bertanya “mengapa”, dia berusaha untuk mencari jawaban dengan membaca referensi-referensi yang ada, maka sesungguhnya dia telah berfilsafat. Hal seperti itu seringkali dilakukan setiap orang, tetapi mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka telah berfilsafat.
Dalam berfilsafat, hal yang bisa dikatakan berbahaya yaitu jika berfikir parsial. Parsial bisa dikatakan sebagai penyakit dalam filsafat. Jika kita bertanya dalam diri kita sendiri, mampukah kita memikirkan perjalanan dari dunia ke akhirat? Mungkin itu sebagai salah satu contohnya, dan masih banyak contoh yang lain. Dalam dunia spiritual, sebenarnya semua manusia di dunia itu sama dalam hal sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya yaitu tingkat keimanan, ketaqwaan dan keikhlasannya.
Dan kembali berbicara mengenai berfilsafat dalam spiritual, saya menjadi teringat kisah tentang seorang  Syeh Siti Jenar berani mangaku-ngaku bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal ini sangat jauh dari kata kebijaksanaan. Sebenarnya tidak hanya Syeh Siti Jenar yang mengaku-ngaku sebagai Tuhan. Bahkan secara tidak sadar mungkin kita pernah berbuat demikian. Misalnya ketika kita merasa bahwa diri kita sangat spesial dalam suatu lingkungan. Kita tidak menyadari bahwa ternyata hal tersebut secara tidak langsung mencerminkan bahwa kita mengaku-ngaku sebagai Tuhan. Seseorang yang menganggap dirinya adalah Tuhan berarti dia tidak mempunyai jiwa spritual yang baik, karena dia berlaku sombong, bahkan sombong yang begitu luar biasa. Padahal sombong adalah dosa pertama dan paling besar. Seseorang yang mengaku Tuhan, maka sebenarnya dia telah tercampakkan dari hadapan Tuhan. Mengaku adalah kesadaran dalam pikiran, dan pikiran harus dilandasi dengan spiritual, karena spritual yang harus selalu diutamakan.
Dari kisah Syeh Siti Jenar, kita juga bisa belajar bahwa kita sebagai manusia biasa tidak mempunyai kuasa atau hak untuk menge-judge orang lain. Karena kita tidak akan pernah tau baik dan buruk seseorang yang sebenarnya. Jangankan untuk orang lain, bahkan untuk diri sendiri pun kita masih belum bisa. Yang mempunyai kuasa dan satu-satunya yang berhak untuk menge-judge seseorang adalah Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman spiritual kita harus selalu ditingkatkan, kita tidak cukup untuk belajar agama secara konvensional saja, tetapi implementasi juga sangat penting untuk selalu ditingkatkan. Semakin tinggi spiritual seseorang maka dia akan jauh dari rasa ego dan rasa sombong.

Pertanyaan:
Apakah makna dari transformasi dunia dan transformasi spiritual dengan kaitannya mengenai berpikir parsial?

Selasa, 04 September 2012

SPIRITUAL SEBAGAI FONDAMEN KEHIDUPAN


Refleksi Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika oleh Dr. Marsigit, MA.
Filsafat seringkali diartikan sebagai pola pikir, refleksi diri dan juga sebagai ilmu kebijakan. Dalam mempelajari filsafat sebaiknya tetapkan terlebih dahulu spiritual sebagai fondamen dalam hidup. Karena terkadang ilmu pengetahuan yang telah dikuasai akan mengganggu spiritual yang dimiliki. Sebagai contoh, beberapa ilmuwan dari negara barat mengembangkan ilmunya untuk meneliti keberadaan Tuhan, keberadaan roh, dan bahkan membuat alat untuk melindungi diri agar terhindar dari “Kiamat”. Hal ini jelas terlihat bahwa penggunaan ilmu pengetahuan telah disalahgunakan. Seharusnya penggunaan ilmu pengetahuan adalah untuk melengkapi dan memaknai, sehingga kita senantiasa bersyukur kepada Tuhan.
Mempelajari filsafat, berangkat dari hal-hal yang sepele, dan ada di sekitar kita. Karena obyek dari filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada. Maksud dari segala yang ada adalah segala hal yang telah kita ketahui. Sedangkan maksud dari segala yang mungkin ada adalah segala hal yang belum kita ketahui. Jadi, obyek kajian filsafat begitu luas dan mendalam. Alat yang digunakan untuk mempelajari filsafat yaitu bahasa analog, bahasa yang lebih dari sekedar bahasa kiasan. Sedangkan metode untuk mempelajari filsafat yaitu hermeneutika (menterjemahkan dan diterjemahkan).
Berpikir dalam mempelajari filsafat ada dua macam, yaitu berpikir secara intensif dan berpikir secara ekstensif. Kita telah mengerti arti kata intensif, yaitu berpikir sedalam-dalamnya. Dalam berfilsafat sangat dibutuhkan pemikiran yang intensif. Selain berpikir intensif kita juga harus berpikir secara ekstensif yaitu berpikir seluas-luasnya. Jika kita hanya berpikir intensif atau ekstensif saja maka masih banyak hal yang tentunya belum kita ketahui dan kita kuasai.
Pertanyaan:
1.
Apakah makna dari filsafat menjembatani antara pengetahuan (pikiran) dan hati (spiritual)?
2. Berpikir intensif dan ekstensif haruskah selalu berjalan beriringan?
3. Bagaimana contoh konkretnya jika kita hanya berpikir intensif atau ekstensif saja?