Makalah Dibuat Dalam Rangka
Melengkapi Tugas-Tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu dari Dr. Marsigit M.A., Tahun
2012/2013
A. PENDAHULUAN
Belajar merupakan salah
hal yang sangat penting dalam kehidupan ini. Karena setiap makhluk hidup sudah
kodratnya untuk terus dan terus belajar. Belajar disini bermakna luas, tidak
hanya sekedar belajar yang berkutat pada buku dan sekolah. Belajar dapat dialami
di manapun, kapanpun, dan dengan cara bagaimanapun. Termasuk belajar dari
pengalaman atau perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diperkuat oleh
pendapat Santrock dan Yussen (Sugihartono, 2007:74) yang mendefinisikan belajar
sebagai perubahan yang relatif permanen karena adanya pengalaman.
Dalam proses belajar
siswa akan memperoleh hasil yang berupa kapabilitas atau kemampuan. Dan dari
belajar siswa akan memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Maka
dalam hal ini belajar memiliki pengertian yaitu proses untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai, dan untuk menguasai pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai tersebut dapat melalui pengalaman, proses
menemukan dan mendapatkan informasi. Proses belajar juga dipengaruhi oleh
faktor internal, yaitu motivasi diri, pengalaman, niat, harapan dan keinginan,
dan juga faktor eksternal yaitu lingkungan dan orang lain.
Proses belajar yang
akan dibahas adalah proses belajar siswa di bangku pendidikan atau di sekolah.
Bagaimana jadinya jika pendidikan yang yang harusnya menjadi wadah siswa dalam
belajar telah terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak semestinya? Seperti hal
yang berhubungan dengan politik, uang, ekonomi, dan sebagainya. Dan kemajuan
teknologi dan informasi juga turut mempengaruhi pendidikan dan hal-hal yang di
dalamnya. Pengaruh tersebut pada umumnya membawa manfaat dan
kemudahan-kemudahan bagi masyarakat, akan tetapi yang kemudian menjadikannya
sebagai pengaruh negatif adalah orang-orang yang tidak betanggung jawab, dan
tidak memahami makna hakiki dari teknologi dan informatika.
Lalu, apa hubungannya
dengan fisafat? Di sinilah filsafat akan berperan dalam menghadapi
fenomena-fenomena pendidikan yang terpengaruh oleh kemajuan teknologi dan
informasi. Dengan adanya aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, maka
peranan filsafat akan semakin dapat dipahami oleh masyarakat. Filsafat yang sering
disebut sebagai ilmu bijak dan olah pikir, mengajarkan seseorang bagaimana
bepikir kritis akan suatu hal. Berpikir secara intensif (sedalam-dalamnya) dan
ekstensif (seluas-luasnya) untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi.
Meskipun sesungguhnya dalam berfilsafat tidak ada hal yang bersifat pasti,
karena kepastian itu akan membuat seseorang terjebak dalam mitosnya sendiri,
yaitu keadaan dimana seseorang berhenti berpikir kritis.
Filsafat itu meliputi
segala yang ada dan yang mungkin ada. Dan dalam berfilsafat, seseorang harus
menjadikan hati atau spiritualnya sebagai landasan akan segala tindakan dan
ucapan. Hati atau spiritual diposisikan ditempat tertinggi dibandingkan dengan
pikiran dan yang lainnya. Sehingga bagi seseorang yang belajar filsafat akan
menyadari betapa kecilnya ilmu yang ia miliki dibandingkan dengan ilmu atau
kuasa Tuhan yang tak terbatas. Jika seseorang memposisikan pikiran di atas hati
atau spiritual, maka ia akan terjebak pada penyakit filsafat yang sering
disebut dengan parsial.
Seperti yang dikatakan
sebelumnya bahwa cara berpikir dalam berfilsafat yaitu secara intensif dan
ekstensif, oleh karena itu filsafat akan membahas suatu hal dari segala
aspeknya yang mendalam, dan meluas. Dan dari pernyataan ini, sering dikatakan
bahwa kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering
dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran
ilmu hanya sebatas ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang
ilmu, dan filsafat merupakan hakekat dari ilmu.
Pada kesempatan kali
ini, akan di bahas mengenai fenomena-fenomena apa saja yang terjadi akibat
kemajuan teknologi dan informasi di masyarakat dan dalam bidang pendidikan, hubungan
filsafat dengan pendidikan, dan bagaimana peranan filsafat dalam menanggapi
fenomena-fenomena pendidikan yang terjadi akibat pengaruh kemajuan teknologi
dan informasi tersebut?
B. ISI
1. Fenomena
pendidikan di zaman modern
Sang powernow begitu lihai dalam menarik perhatian masyarakat
dunia. Rayuan mereka begitu halus dan lembut, sehingga masyarakat tidak
menyadari bahwa mereka telah berada di bawah pengaruh sang Powernow. Globalisasi merupakan suatu proses tatanan
masyarakat mendunia yang tidak memandang daerah mana yang akan didatanginya.
Hal ini membawa pengaruh bagi setiap daerah di belahan bumi manapun, termasuk
Indonesia. Tentu saja pengaruh ini dapat dirasakan oleh sebagian besar penduduk
Indonesia. Pengaruh globalisasi tersebut ditandai dengan semakin berkembangnya
teknologi informasi, komunikasi dan transportasi.
Semakin derasnya kemajuan arus teknologi di dunia ini
ternyata membawa pengaruh di segala aspek kehidupan. Ada pengaruh yang baik dan
ada pula pengaruh yang tidak baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa arus
globalisasi menuntut manusia untuk selalu mengikutinya. Jika kita menilik sisi
positif dan negatif globalisasi, hal ini akan begitu kompleks. Sisi positif
pengaruh globalisasi yaitu mampu memberikan manfaat bagi manusia, mulai dari
berkembangya teknologi informasi mempermudah manusia ataupun masyarakat dalam
mencari, memperoleh dan mengakses informasi seluas-luasnya. Dan hal ini semakin
nyata terlihat dari adanya internet. Begitu pula dengan adanya perkembangan
teknologi komunikasi telah mempermudah proses interaksi individu, masyarakat
satu dengan yang lainnya baik dalam satu negara maupun dalam negara yang
berbeda. Dan menjadikan jarak dan waktu bukanlah penghalang untuk saling
berkomunikasi. Selain itu perkembangan teknologi transformasi juga mempermudah
sirkulasi kehidupan. Dari hal-hal tersebut, ternyata semakin membuat kita
menyadari bahwa globlisasi juga telah membawa perubahan perilaku terhadap
kehidupan masyarakat baik dalam bidang politik, pendidikan, ekonomi, sosial
maupun budaya.
Berbicara mengenai perubahan perilaku masyarakat, maka hal
ini tidak kalah menarik untuk menjadi bahan perbincangan khalayak ramai. Dan
apa saja yang berubah dari perilaku masyarakat Indonesia? Yang pertama adalah
pola kehidupan masyarakat yang cenderung konsumtif. Perkembangan industri yang
begitu pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat yang semakin
melimpah. Dan hal ini akan membuat masyarakat begitu mudahnya tertarik untuk
mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada. Contohnya saja dengan adanya
HP dengan segala merk yang bermacam-macam dan mempunyai keunggulan
masing-masing. Begitu mudah orang untuk tertarik untuk segera memilikinya. Dan
zaman sekarang ini, setiap orang tidak terpuaskan untuk memiliki hanya satu HP.
Mereka akan cenderung memiliki lebih dari satu HP, dan tentunya dengan
keunggulan masing-masing yang dimiliki HP tersebut.
Yang kedua adalah sikap masyarakat yang cenderung
individualistik. Fasilitas yang disediakan oleh kecanggihan teknologi telah
mempermudah masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Dan hal ini membuat
masyarakat merasa tidak membutuhkan orang lain atau masyarakat dalam kegiatan
atau aktivitasnya. Kemudahan yang ditawarkan kecanggihan teknologi ini terkadang
membuat mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup
tanpa adanya orang lain. Kini semakin banyak orang yang menghabiskan waktunya
sendirian dengan komputer dan layanan yang disediakan kecanggihan teknologi
yang lain. Bahkan di masyarakat pedesaan pun sudah jarang ditemukan anak-anak
bermain permainan tradisional seperti petak umpet, gobak sodor, lompat tali,
dsb. Saat ini, anak-anak lebih asyik menghabiskan waktunya di warnet untuk
menikmati permainan game online yang begitu menarik bagi mereka. Padahal sebuah penelitian telah
menyatakan bahwa game yang
dimainkan di komputer yang menampilkan unsur kekerasan memiliki sifat
menghancurkan yang lebih besar dibanding kekerasan yang ada di televisi ataupun
kekerasan dalam kehidupan nyata sekali pun. Biasanya anak-anak dan remaja yang
akan lebih mudah terpengaruh, sehingga bisa menimbulkan kurangnya sensitivitas
terhadap sesama, memicu munculnya perilaku agresif, sadistis, bahkan bisa
mendorong munculnya sikap kriminal yang ada pada game yang dimainkan
mengeser nilai sosial dari pada antar sesama manusia. Hal inilah yang
kemudian membara para remaja dan anak-anak untuk berbuat tindakan yang
menyimpang seperti perkelahian, tawuran, dsb.
Kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja yang
semakin meningkat merupakan akibat dari semakin lemahnya kewibawaan
tradisi-tradisi yang ada di masyarakat pula, seperti gotong royong dan
tolong-menolong. Hal tersebut telah melemahkan kekuatan-kekuatan sentripetal
yang berperan penting dalam menciptakan kesatuan sosial. Sikap masyarakat yang
individualistik ini akan terlihat jelas pada masyarakat di daerah perkotaan,
sedangkan untuk masyrakat pedesaan, hal ini masih sangat jarang ditemukan.
Karena di masyarakat pedesaan masih menjaga tradisi-tradisi untuk saling
bergotong royong dan berkumpul bersama dalam suatu acara.
Yang ketiga yaitu gaya hidup masyarakat yang kebarat-baratan,
padahal tidak semua budaya Barat itu baik dan cocok jika diterapkan di
Indonesia. Budaya Barat yang membawa pengaruh tidak baik dan mulai menggeser
budaya Indonesia antara lain kehidupan bebas para remaja, anak tidak lagi
hormat dan menghargai orang tua, memakai pakaian yang tidak layak dipakai, dan
lain-lain. Kemerosotan moral di kalangan warga masyarakat, khususnya di
kalangan remaja dan pelajar juga menjadi salah satu akibat dari kemajuan zaman
ini.
Kemajuan kehidupan ekonomi yang terlalu menekankan pada upaya
pemenuhan berbagai keinginan material, telah menyebabkan sebagian warga
masyarakat menjadi kaya dalam materi akan tetapi miskin dalam rohani. Dan
bahkan yang lebih miris lagi yaitu terjadinya kesenjangan sosial. Adanya jurang
pemisah antara si kaya dan si miskin. Jika dalam suatu komunitas masyarakat
hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan
globalisasi maka yang akan terjadi adalah semakin dalamnya jurang pemisah
antara individu satu dengan individu yang lain.
Paparan diatas merupakan paparan secara umum pengaruh
globalisasi dalam berbagai bidang kehidupan. Lalu bagaimanakah nasib pendidikan
di Indonesia? Dan ternyata pendidikan di Indonesia juga terkena imbas dari kemajuan
zaman ini. Pendidikan merupakan sektor
penting dari setiap bangsa. Dan bagi para pemegang kuasa atas teknologi tidak
mungkin akan melewatkan sektor penting ini. Memang, kemajuan teknologi dan
informasi ini membawa pengaruh yang baik bagi dunia pendidikan, diantaranya
mudahnya mengakses informasi sebagai referensi, teknologi dapat digunakan
sebagai landasan dalam pengembangan media pembelajaran yang menyenangkan bagi
siswa, e-learning akan memudahkan
komunikasi yang terhambat oleh jarak dan waktu, dsb.
Namun, kita juga patut untuk mewaspadai pengaruh negatif yang
dibawa oleh kemajuan teknologi dan informasi ini. Salah satu contoh bentuk
kemajuan teknologi dan komunikasi yaitu internet. Bagi para pelaku pendidikan
harus cerdas dan kreatif dalam memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang
tidak baik untuk disajikan kepada para siswanya. Selain itu, para pelaku
pendidikan, khususnya guru juga harus menyampaikan penjelasan penggunaan
internet yang tidak melanggar nilai dan norma kehidupan. Mengapa hal itu
penting? Karena setiap siswa yang awalnya benar-benar tidak mengetahui
internet, dan tiba-tiba dia diberikan layanan yang begitu menggiurkan, mungkin
saja akan membuat anak tersebut tidak mengetahui batasan-batasan yang tidak
boleh dilewati.
Terkadang kesalahan dalam pemanfaatan juga dapat diakibatkan
oleh guru. Tidak jarang bagi para guru menyuruh siswa-siswanya untuk
mengerjakan tugas atau mencari referensi
atau informasi yang terkait tugas melalui internet. Namun, ada yang terlewatkan
bagi guru tersebut, yaitu meminta siswa untuk mencamtumkan sumber, dan
menganalisis informasi yang diperoleh (bukan hanya sekedar jiplakan dan hasil
copy paste dari internet). Hal yang
terlewatkan inilah yang mengakibatkan budaya plagiatisme merajalela dimana-mana.
Plagiatisme merupakan bentuk pelanggaran terhadap
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Dan ironisnya, plagiatisme ini
akan menghambat kreatifitas siswa, pengetahuan siswa, dan mengikis sikap kejujuran
dan rasa tanggung jawab yang dimiliki siswa.
Selain berdampak pada siswa, plagiatisme ini juga menjangkiti
kalangan guru-guru. Tidak sedikit pula para guru membuat karya ilmiah, laporan
penelitian, bahkan tugas akhir masa studinya dengan melakukan plagiatisme. Hal
ini menunjukkan bahwa masih banyak pula guru yang belum berkualitas secara
karakter. Seharusnya seorang guru memberikan contoh yang baik bagi para
siswanya. Bagaimana nasib para siswa, jika guru-gurunya juga masih mengalami
krisis moral seperti itu?
Kecanggihan internet yang dapat digunakan sebagai fasilitas
untuk mengakses informasi apapun seluas-luasnya ternyata seringkali
disalahgunakan oleh para penggunanya. Selain masalah plagiatisme, ada juga
permasalahan yang tidak jarang ditemukan bagi kalangan siswa, yaitu masalah
pornografi. Bebasnya akses segala informasi, membuat siswa merasa bebas pula
untuk mencari informasi yang mereka kehendaki, termasuk informasi tentang
kehidupan seks. Hal ini dapat berakibat sangat fatal ketika para penikmat aksi
pornografi di internet juga meniru hal yang sama dalam kehidupan nyata. Maka moral
siswa akan rusak dan pada akhirnya akan merugikan orang lain dan merugikan diri
sendiri pula.
Selain internet, benuk nyata dari kemajuan teknologi dan
komunikasi adalah adanya HP. HP memang mempunyai banyak keunggulan yang dapat
memepermudah akses komunikasi antara orang satu dengan orang yang lain, tetapi
HP juga membawa pengaruh negatif bagi kalangan siswa. Di antaranya yaitu, HP
akan mengganggu siswa di lingkungan kelas. Dengan kecanggihan yang
ditawarkan HP, seperti games, kamera, dan beberapa aplikasi lainnya akan
mengganggu siswa dalam belajar di sekolah. Dan tidak jarang pula, mereka
disibukkan dengan menerima sms, telephone, miscall dari teman mereka bahkan
dari keluarga mereka sendiri. Bahkan yang membuat miris, ada beberapa siswa yang
menggunakan HP untuk mencontek dalam ujian.
HP yang saat ini digandrungi semua kalangan, terutama remaja,
akan sangat mempengaruhi sikap dan
perilaku siswa. Jika tidak ada kontrol dari guru dan orang tua. HP bisa
digunakan untuk menyebarkan gambar-gambar yang mengandung unsur pornografi yang
tidak mendidik moral generasi muda. Dan jika unsur pornografi telah
menyebar luas melalui media HP, maka hal ini juga memungkinkan adanya pornoaksi
dari penikmat HP ini. Selain itu, adanya HP dengan segala merk dan kelebihannya
masing-masing, akan menciptakan
lingkungan pergaulan sosial yang tidak sehat. Misalkan saja, hal ini
akan menimbulkan gank antara gank HP
keren dan gank HP jadul atau yang belum memiliki. Hal ini mendidik masyarakat menjadi memiliki kasta
di antara kehidupan sosial mereka.
Belum banyak diketahui oleh banyak orang mengenai efek samping dari jari yang selalu dan sering memencet tombol ketika saling mengirim
sms. Bukankah ujung jari memiliki jutaan syaraf? Apalagi disaat anak-anak pada usia pertumbuhan,
tentu kita tidak ingin pertumbuhannya terganggu gara-gara fungsi syaraf yang
terhambat pertumbuhannya karena keseringan dipencet. Dan hal ini dapat mempengaruhi kerja otak mereka, dan pada khirnya akan mengganggu
aktivitas belajar mereka baik di rumah maupun di sekolah.
Paparan di atas semakin membuat kita memahami bahwa kemajuan
teknologi dan informasi memang membawa banyak keuntungan dan kemudahan yang
dapat dirasakan oleh semua orang dalam segala bidang, termasuk pendidikan. Akan
tetapi, yang menjadikannya sebagai hal yang negatif adalah orang-orang yang
kurang mengerti akan tanggung jawab, nilai, norma, budaya, agama, hukum dan
lain-lain, baik orang dengan intelektual tinggi maupun rendah. Dan orang-orang
seperti inilah yang sebaiknya belajar banyak mengenai hakekat hidup dan
pendidikan. Mereka harus belajar berpikir secara luas dan mendalam, dalam hal
ini terkait dengan akibat-akibat apa yang akan timbul dari perbuatan mereka,
hati nurani haruslah menjadi pedoman dalam setiap mereka bertindak. Lalu
bagaimana kita menyikapinya? Kita dapat memulai perbaikan ini dari sisi
pendidikan.
Dari penjelasan di atas, maka dapat kemukakan bahwa dengan
berfilsafat atau belajar filsafat merupakan salah satu upaya untuk mengarah
pada hal yang lebih baik. Karena dengan belajar filsafat kita akan mempelajari
banyak hal (obyek filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada), dan
setiap hal akan dipelajari secara mendalam dan meluas (dengan pola pikir
intensif dan ekstensif). Dan yang perlu dilakukan pertama kali dalam
belajar filsafat adalah memposisikan
spiritual (hati nurani) sebagai fondamen kehidupan, sebagai fondamen dalam
setiap kita berucap maupun bertindak.
2.
Hubungan antara filsafat dan pendidikan
Ilmu pengetahuan terdiri atas dasar/teori dan fakta. Begitu
pula dengan pendidikan, karena pendidikan juga dapat dianggap sebagai
pengetahuan atau ilmu. Dan biasanya dasar/teori yang dimaksud bersifat abstrak.
Dasar pendidikan di Indonesia adalah Pancasila. Pancasila yang dimaksud adalah
nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber pada Pancasila. Misalnya, salah satu
diantaranya adalah keadilan. Keadilan sebagai nilai yang bersifat abstrak dan
akan menjadi konkret ketika diterapkan dalam bidang tertentu, seperti dalam
bidang hukum.
Bagi seseorang yang mendidik orang lain akan tetapi tanpa
adanya bekal mengenai teori-teori dalam mendidik, maka hal itu akan terasa
sangatlah janggal. Tujuan yang akan dicapai perlu diketahui dalam mendidik
siswa atau orang lain. Pendidikan adalah serangkaian tindakan yang di sengaja.
Seseorang yang terpaksa menghukum anaknya perlu mengetahui makna dan kegunaan
hukuman dalam pendidikan, misalnya untuk membuat jera atau untuk membuat
siswanya sakit, dan sebagainya. Pemaknaan dari bagian yang abstrak ini banyak diambil dari bidang filsafat. Menurut Imam
Barnadib (2002:5), pada hakekatnya hubungan antara filsafat dan pendidikan
merupakan hubungan keharusan, bukan hanya hubungan insidental semata.
Dalam bidang pendidikan, subyek pendidikan adalah manusia
atau para siswa. Sehingga pendidikan itu sendiri sangat perlu untuk mengetahui
dengan jelas hakekat manusia atau siswa tersebut. Dan kemudian muncul
pertanyaan mengenai apa manusia dan siswa itu. Pertanyaan tersebut bersifat
umum, dan perlu dijawab dengan jelas. Karena bersifat abstrak, maka dengan
sendirinya jawaban tersebut tidak akan memuaskan apabila dijawab dengan data
konkret (misalkan berupa contoh-contoh), akan tetapi sebaiknya dijawab secara
umum dan kemudian dilanjutkan dengan penjabaran secara konkret. Jawaban ini
berasal dari bidang filsafat, misalnya manusia adalah makhluk monodualis,
mono-multi-dimensional, dan sebagainya.
Dari contoh-contoh tersebut di atas dapat dijabarkan lagi
menjadi lebih konkret, misalnya manusia adalah makhluk monodualis. Yang berarti
bahwa manusia terdiri atas jiwa dan raga yang keduanya tidak terpisah satu sama
lain. Keduanya saling menunjang dan saling berhubungan. Masing-masing juga
mempunyai sifat saling ketergantungan. Selain itu, yang dimaksud dengan
mono-multidimensional adalah manusia terdiri atas berbagai komponen, jiwa-raga,
tampak dan tidak tampak, serta mempunyai sifat yang bermacam-macam. Namun,
semua itu menyatu dalam suatu ikatan sehingga pada hakekatnya manusia mempunyai
pribadi yang utuh dan tunggal. Kedua jawaban tersebut berasal dari metafisika,
yaitu suatu cabang dari ilmu filsafat. Dengan demikian, antara pendidikan dan
filsafat mempunyai hubungan keharusan.
Ada berbagai contoh lainnya yang menunjukkan hubungan antara
pendidikan dan filsafat mempunyai hubungan keharusan. Dalam proses belajar di
kelas, guru menjadi fasilitator bagi para siswanya yang sedang belajar suatu
pengetahuan baru. Siswa akan belajar mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, dan
hal itu tidak terlepas dari peranan guru. Oleh karena itu, guru harus
mengatahui makna pengetahuan yang sedang dipelajari para siswanya. Sehingga
guru dapat memperkirakan metode mana yang lebih baik digunakan atau untuk
diterapkan agar proses belajar siswa akan berjalan dengan baik. Dengan
demikian, semakin jelas bahwa pengajaran perlu memperhatikan epistemologi,
yaitu salah satu cabang filsafat mengenai metode.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dari salah satu cabang
filsafat adalah pendidikan yang berkecimpung dalam bidang nilai. Pengembangan
watak serta kepribadian memegang peran penting dalam menuntun dan mengembangkan
para siswa. Siswa perlu memiliki sopan santun dan tingkah laku yang terpuji
sehingga guru perlu terus-menerus memberi teladan. Cabang ilmu lain yang perlu
diperhatikan adalah aksiologi, yaitu filsafat yang membahas tentang nilai.
Aksiologi meliputi dua aspek, yaitu etika dan estetika. Aspek pertama mengenai
baik dan buruk ditinjau dari tingkah laku manusia. Aspek yang kedua mengenai
keindahan. Dan kedua aspek sangatlah perlu hadir dalam bidang pendidikan.
3.
Makna filsafat pendidikan
Menurut Imam Barnadib (2002:15), untuk mengetahui apa itu
filsafat pendidikan dan bagaimana filsafat pendidikan, dapat dilakukan melalui
beberapa sudut pandang. Sudut pandang pertama yaitu pandangan mengenai filsafat
pendidikan dapat tersusun karena adanya hubungan linier antara filsafat dan
pendidikan. Sebagai contoh, beberapa aliran filsafat dapat dihubungkan
sedemikian rupa sehingga menjadi filsafat pendidikan. Idealisme dan pendidikan
menjadi filsafat pendidikan idealisme. Begitu pula dengan realisme menjadi
filsafat pendidikan realisme, dan sebagainya.
Cabang-cabang filsafat juga dapat berfungsi sebagai
bagian-bagian utama dari filsafat pendidikan. Jika dalam filsafat dikenal
adanya ontologi sebagai cabang yang membahas tentang teori umum mengenai semua
hal, epistemologi yang membahas tentang metode atau pengetahuan, serta
aksiologi yang membahas tentang nilai, dalam filsafat pendidikan pun dibahas
pula tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari aspek pendidikan
tertentu.
Sebagai contoh, apabila yang menjadi fokus perhatian yaitu
filsafat pendidikan idealisme, maka ontologi, epistemologi, dan aksiologi dapat
dideskripsikan sejalan dengan idealisme. Ontologi dari filsafat pendidikan ini
menyatakan bahwa kenyataan dan kebenaran itu pada hakekatnya adalah ide-ide
atau hal-hal yang berkualitas spiritual. Oleh karena itu, hal pertama yang
perlu ditinjau pada siswa adalah pemahaman sebagai makhluk spiritual dan
mempunyai kehidupan yang bersifat teleologis dan idealistik. Hal yang perlu diketengahkan
adalah bahwa pendidikan bertujuan untuk membimbing siswa menjadi makhluk yang
berkepribadian, bermoral, serta mencita-citakan segala hal yang serba baik dan
bertaraf tinggi.
Untuk aspek epistemologi, yang perlu diperhatikan adalah
pengetahuan hendaknya bersifat ideal dan spiritual, yang dapat menuntun
kehidupan manusia pada kehidupan yang lebih mulia. Pengetahuan semacam itu
tidak semata-mata terikat kepada hal-hal yang bersifat fisik, tetapi
mengutamakan yang bersifat spiritual. Selanjutnya untuk aspek aksiologi, yang
perlu diperhatikan adalah menempatkan nilai pada dataran yang bersifat tetap
dan idealistik. Artinya, pendidik hendaknya tidak menjadikan peserta didik
terombang-ambing oleh hal-hal yang bersifat relatif atau temporer. Misalnya,
karena yang menjadi tujuan pendidikan adalah masyarakat yang bahagia maka
pencapaian keadaan masyarakat pada tahap tertentu hendaknya dipahami sebagai
satu upaya pencapaian masyarakat tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, telah menunjukkan bahwa adanya
hubungan linier antara filsafat dan pendidikan. Dan filsafat pendidikan dapat
dipelajari dengan memulainya dari sudut filsafat maupun dari pendidikan. Kemudian
bagaimana filsafat berperan dalam pendidikan saat ini, pendidikan yang begitu
banyak permasalahan yang terjadi di dalamnya. Untuk itu diperlukan tinjauan
nonlinier sebagai sudut pandang lain dalam mengetahui hubungan atau peranan
filsafat dalam pendidikan. Oleh karena itu, untuk selanjutnya akan dipaparkan
sebuah tinjauan non-linier antara filsafat dan pendidikan, dan membahas
bagaimana peranan filsafat dalam wajah pendidikan saat ini.
4.
Filsafat sebagai tonggak pendidikan saat ini.
Dalam zaman modern seperti saat ini, seringkali ada
pertanyaan yang terlontar mengenai apa dan bagaimana pendidikan yang demokratis?
Yang sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia? Pendidikan yang benar-benar
pendidikan, dan bukan untuk keepentingan ekonomi dan politik belaka?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi awal sebuah ilmu, dan sebagai awal sebuah
pemikiran. Pola asuh pendidikan di Indonesia yang sampai sekarang lazim
diketahui adalah otoriter dan demokratis. Pola asuh otoriter terjadi pada zaman
dahulu, ketika masa penjajahan masih begitu dirasakan oleh masyarakat. Dan
mungkin otoriter itu adalah pengaruh dari adanya penjajahan yang
ber-ratus-ratus tahun. Sedangkan pola asuh demokrasi telah digembar-gemborkan
menjadi pola asuh yang diterapkan di Indonesia. Namun, jika kita melihat
pendidikan-pendidikan yang terjadi di Indonesia, sudah pantaskah disebut
sebagai demokrasi?
Kembali pada tinjauan non-linier antara filsafat dan
pendidikan, tinjauan non-linier perlu ditampilkan bila yang dimaksud adalah
filsafat pendidikan atau jawaban filosofis tentang ruang lingkup permasalahan
pendidikan. Misalnya, bagaimana pendidikan dapat mengembangkan konsep yang
mencerminkan jawaban atas pertanyaan tentang konsep pendidikan yang perlu
dikembangkan dengan memperhatikan adanya era teknologi informasi dan komunikasi
saat ini. Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya mengenai
fenomena-fenomena pendidikan yang terjadi seiring dengan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi, maka diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada
perubahan yang lebih baik.
Dengan adanya teknologi yang semakin canggih, misalnya
internet, HP, I-Pad, dan bahkan dengan adanya satelit yang membuat komunikasi
antara negara yang satu dengan negara lainnya dapat berlangsung dalam waktu
yang begitu cepat. Dengan perkembangan teknologi tersebut, dan kemudian
ditambah dengan penyebaran bahan-bahan informasi yang beraneka ragam,
seolah-olah manusia “kebanjiran” berbagai informasi, seperti ilmu pengetahuan,
hiburan, baik yang bersifat baik maupun tidak baik. Dengan demikian, siswa dan
guru juga pelaku pendidikan lainnya, perlu untuk disiapkan agar mampu
menghadapi “banjir” informasi tersebut. Siswa diharapkan bukan hanya sebagai
“penerima”, melainkan juga sebagai orang yang mampu menyeleksi mana yang baik
dan perlu dipelajari dan mana yang tidak baik untuk diketahui atau dipelajari.
Dalam hal ini, siswa sebaiknya mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri. Penjelasan
tersebut menunjukkan perlunya pengembangan aspek ontologi.
Informasi yang diperoleh dari kecanggihan teknologi tersebut,
seharusnya dapat digunakan oleh para siswa, guru dan pelaku pendidikan lainnya
sebagai suatu modal untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Jadi
informasi yang diperoleh tidak hanya ditelan mentah-mentah begitu saja. Itulah
yang akan menghasilkan proses belajar yang baik. Makna belajar bukan hanya sebagai maintainance learning melainkan innovative
learning. Penjelasan tersebut menunjukkan pentingnya pengembangan aspek
epistemologi.
Teknologi informasi dan komunikasi akan menghasilkan suatu
budaya tertentu, baik itu budaya yang bersifat baik, maupun budaya yang
bersifat tidak baik.oleh karena itu, yang harus diperhatikan adalah bagaimana
agar teknologi dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan tersebut menjadi bagian yang hakiki dari kehidupan
nyata. Hal penting yang perlu diperhatikan pula adalah bagaimana menyeleksi,
memilah dan memilih kebudayaan “baru” tersebut untuk diterapkan dalam
kehidupan. Penjelasan tersebut menunjukkan pentingnya pengembangan aspek
aksiologi.
Kemajuan teknologi dan informasi bagi negara berkembang, akan
membutuhkan penyeleksian dan penyaringan yang berbeda jika dibandingkan dengan
negara-negara maju. Karena bagi negara maju, di mana hal-hal atau informasi
baru berasal, proses adaptasi dengan adanya hal-hal atau informasi baru akan
berlangsung dengan wajar hingga pada akhirnya menjadi aspek penopang kehidupan
yang terjadi secara alami. Sedangkan untuk negara berkembang tidak semudah itu,
karena memang keadaan baik keadaan ekonomi, politik maupun budaya anatara
negara berkembang dan negara maju itu berbeda. Salah satu contoh akibat yang
ditimbulkan jika kemajuan teknologi tidak dipertimbangkan dalam negara
berkembang adalah adanya kesenjangan sosial. Terlihat begitu jelas antara si
kaya dan si miskin. Si kaya yang selalu mampu membeli alat-alat canggih dan si
miskin yang tidak mampu mengikuti kemajuan yang ada.
Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa berbagai produk
teknologi itu telah menjadi “komersiil”. Dan pastinya akan menarik setiap orang
untuk memilikinya. Hal tersebut pada akhirnya akan menyebabkan setiap orang
berlomba-lomba untuk menjual dan membeli produk teknologi tersebut. Sehingga
manusia yang awalnya menciptakan produk/alat kini terbalik menjadi diperalat
oleh alatnya.
Pengaruh dari perkembangan ilmu dan teknologi mulai dapat
dirasakan bagi kehidupan, yaitu dengan adanya tuntutan efisiensi dan
efektivitas. Semua ini adalah akibat dari sifat atau corak yang mulai
berpengaruh dari ilmu pengetahuan dan
refleksinya ke dalam teknologi dan sebagainya. Akibatnya, di satu sisi orang
menyambutnya dengan optimisme karena ilmu dan teknologi menyajikan
kemudahan-kemudahan yang dapat dinikmati masyarakat. Namun, di sisi lain timbul
rasa pesimis karena kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi akan mengubah
hal-hal yang telah terasa mapan menjadi longgar dan mungkin kurang jelas makna dan
arahnya. Kemudian yang menjadi pertanyaan terkait dengan pendidikan adalah
pendidikan yang bagaimanakah yang perlu dikembangkan untuk menyambut keadaan
dan tuntutan baru tersebut?
Memang tidaklah mudah memberi
jawaban atas pertanyaan tersebut. Pendidikan tidak pernah lepas dengan
masalah manusia, sebab hakekat pendidikan adalah membimbing manusia dalam
meningkatkan martabatnya, baik melalui jalur pendidikan persekolahan maupun
pendidikan luar sekolah. Salah satu alternatif yang
dapat dikemukakan yaitu dengan adanya pendidikan yang tidak hanya menyangkut
salah satu aspek kepribadiannya, melainkan yang mencakup keseluruhannya, yaitu
aspek yang berdimensi vertikal, horizontal, maupun ruang dan waktu, dan tidak
ditujukan hanya untuk kelompok masyarakat tertentu, tetapi pendidikan untuk
semua.
Apa yang dihadapi oleh
pendidikan dewasa ini bukan hanya pada masalah ontologis dan epistemologis,
tetapi juga menyangkut aspek aksiologis. Masalah ontologis berkaitan erat
dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, yang erat kaitannya dengan
landasan filosofis pendidikan yang menjadi acuan perumusan tujuan yang lebih
umum. Konsep-konsep umum tujuan hidup bangsa Indonesia, merupakan rujukan yang
mendasar dalam menjabarkan rumusan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan
tujuan pendidikan akan selalu bertumpu pada gambaran manusia yang diharapkan di
masa yang akan datang.
Masalah epistemologis, adalah berkaitan dengan metode.
Maksudnya metode atau isi pendidikan yang bagaimana yang menjadi landasan
pengetahuan dalam rangka membekali subyek didik untuk mencapai tujuan
pendidikan yang efektif. Landasan epistemologis merupakan penjabaran dari
landasan ontologis yang menjadi rujukan tujuan yang akan dicapai. Dengan
demikian, masalah epistemologis pendidikan akan mempertanyakan apa yang telah
diberikan kepada subyek didik dan mengapa diberikan pengetahuan tersebut?
Demikian pula landasan epistemologis mendasari nilai-nilai kebenaran mana yang
menjadi acuan dalam pengembangan ilmu.
Prinsip epistemologis mengajarkan kepada kita bahwa hitam
katakan hitam, dan jika putih katakan putih. Namun persoalannya berkaitan erat
dengan apa fungsi ilmu dan kegunaan ilmu bagi kita. Ilmu telah banyak
menyelamatkan manusia dari penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan kebodohan.
Namun ilmu juga dapat digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia, jika
orang yang menggunakannya tidak mempunyai moral dan spiritual yang baik. Jadi,
apakah ilmu itu baik atau tidak, tergantung dari penggunanya. Hal ini berkaitan
dengan permasalahan aksiologis ilmu yang erat kaitannya dengan masalah
bagaimana kita memperlakukan/ memanfaatkan ilmu dalam kehidupan masyarakat. Implikasi
dari landasan aksiologis terhadap pendidikan, memberi wawasan kepada
pendidik/guru untuk dapat secara kreatif mencari makna dan nilai manfaat dari
ilmu, serta metode dan strategi belajar yang efektif dan efisien dalam mencapai
tujuan pembelajaran yang mendidik.
Berkaitan dengan praktek pendidikan, masalah aksiologis ini
mempertanyakan bagaimana anak bertingkah laku sesuai dengan tujuan pendidikan,
setelah mereka mempelajari pelajaran-pelajaran di sekolah. Inilah pertanyaan
masyarakat awam yang dilontarkan kepada pihak sekolah. Mereka memiliki
indikator keberhasilan sekolah, yaitu bahwa anak yang berhasil atau
berpendidikan adalah anak yang bukan hanya pintar tetapi baik (berkepribadian
dan bermoral).
Permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan menunjukkan
bahwa masyarakat tidak mampu melihat hakikat pendidikan, tetapi mereka hanya
melihat realitas apa yang terjadi, yaitu mengapa terjadi perampokan di bis oleh
anak sekolah secara berkelompok, perkelahian antar pelajar atau antar sekolah,
perkelahian antar mahasiswa atau antar fakultas, anak sekolah dasar melakukan
gantung diri karena belum bayar SPP, pelecehan seksual oleh guru kepada muridnya,
dan mengapa terjadi pelecehan seksual oleh murid kelas IV SD kepada adik
kelasnya ? Semua petanyaan tersebut ditujukan kepada sekolah atau guru. Apa
yang dilakukan guru di sekolah, jika hasilnya demikian?
Kembali kepada peranan sekolah, yaitu apakah mereka telah
melakukan pendidikan dengan melalui proses belajar mengajar yang sesuai dengan
tujuan pendidikan yang akan dicapai? Pertanyaan selanjutnya adalah apakah guru
memahami hakikat tujuan pendidikan yang dirancang untuk dicapai setelah kegiatan
belajar mengajar selesai? Kemudian, apa yang para siswa pelajari di sekolah
apakah mempunyai kontribusi langsung terhadap sikap hidup, tujuan hidup, dan
mencapai kebahagiaan hidup (bukan hedonis)?
Pemahaman terhadap konsep manusia yang akan dihadapi oleh guru atau calon guru, merupakan bekal
yang sangat fundamental dalam tugas kewajiban menjadi guru. Hal ini
mengisyaratkan perlunya pemahaman terhadap landasan-landasan filosofis
pendidikan, yang menjadi penopang pelaksanaan pendidikan secara empirik. Dalam
hal ini, guru yang kurang memahami tataran ontologis dan antropologis dari
filsafat pendidikan yang menjadi landasan pendidikan, cenderung tidak memiliki
misi yang visioner, kurang mampu merasakan nikmat dan hikmat dari perbuatan
pendidikan yang dilakukannya, dan cenderung kewajiban dalam pendidikan
dilakukan dengan asal selesai menunaikan tugas.
Karena filsafat adalah ilmu tentang hakekat dari segala yang
ada dan yang mungkin ada, maka filsafat juga merupakan ilmu tentang hekekat
pendidikan dan segala unsur-unsur yng ada di dalam pendidikan. Dari penjelasan
di atas, pendidikan tidak akan berjalan dengan baik apabila setiap pelaku
pendidikan, baik guru, siswa, kepala sekolah dan praksis pendidikan tidak memahami
hakekat dari pendidikan itu sendiri, dan hakekat dari hal-hal yang berada dalam
pendidikan. Jadi, sebenarnya kemajuan teknologi dan informasi akan sangat
bermanfaat bagi para penggunanya/masyarakat, apabila mereka juga mengetahui
hakekat teknologi dan informasi dan dengan memposisikan hati nurani atau spiritual
sebagai landasan dalam setiap berucap dan bertindak.
Mengutip dari elegi Bapak Marsigit, dalam
forum tanya jawab 53
“Pendidikan itu
dapat diibaratkan sebagai gerbong kereta api. Demikian juga pendidikan
matematika atau pendidikan sain. Filsafat itu dapat diibaratkan sebagai
helicopter pengawal gerbong KA. Para pendidik, atau guru atau praktisi
kependidikan jika tidak pernah mempelajari filsafat pendidikan atau filsafat
pendidikan matematika atau filsafat pendidikan sain, mereka itu ibarat
penunmpang KA tersebut. Maka bagaimana mungkin penumpang KA bisa mengetahui
semua aspek sudut-sudut gerbong KA dalam perjalanannya. Maka filsafat
pendidikan matematika atau filsafat pendidikan sain itu ibarat seorang
penumpang KA itu keluar dari gerbong KA, kemudian keluar naik helicopter untuk
mengikuti dan memonitor laju perjalanan KA itu. Maka orang yang telah
mempelajari filsafat pendidikan matematika atau filsafat pendidikan sain jauh
lebih kritis dan lebih dapat melihat dan mampu mengetahui segala aspek
pendidikan matematika atau pendidikan sain.”
Pernyataan tersebut
memberikan pemahaman kepada kita bahwa orang yang belajar filsafat akan jauh
lebih kritis dalam menanggapi fenomena-fenomena yang terjadi di dunia
pendidikan. Mereka akan berpikir secara intensif dan ekstensif dalam memikirkan
setiap hal yang terjadi dari berbagai aspek. Bagi orang-orang yang telah
berkecimpung di dunia pendidikan, akan tetapi tidak pernah mempelajari filsafat
pendidikan, maka mereka hanya akan berpendapat atau menanggapi masalah
pendidikan yang terjadi hanya dari satu sisi. Dan mungkin penjelasan yang akan
mereka sampaikan ketika menangani permasalahan-permasalahan yang terjadi di
dunia pendidikan tidaklah terlalu detail. Oleh karena itu, sangatlah penting
bagi setiap orang yang bergelut di dunia pendidikan (para pendidik, atau guru
atau praktisi kependidikan) untuk mempelajari filsafat pendidikan.
C. Penutup
Kesimpulan
Berbagai uraian dan paparan di atas
memperkenalkan sekilas mengenai makna pendidikan, filsafat, dan filsafat
pendidikan. Filsafat pendidikan dalam paparan di atas juga di ulas dari adanya
hubungan keharusan antara filsafat dan pendidikan, dan tidak hanya hubungan
insidental semata. Hubungan keharusan yang dimaksud dapat berupa hubungan
linier maupun non-linier. Dan penjelasan dari mengenai kedua hubungan tersebut
dapat ditempuh dengan fokus pada aspek-aspek filsafat yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Dan dengan upaya tersebut, akan memberi
kemungkinan untuk menelaah pendidikan beserta permasalahan-permasalahan yang
kompleks dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi.
Seseorang yang belajar filsafat,
maka dia akan belajar untuk selalu berpikir kritis akan suatu hal, berpikir
secara intensif (sedalam-dalamnya) dan ekstensif (seluas-luasnya). Bagi para
pelaku pendidikan, baik itu guru, siswa, atau pembuat kebijakan pendidikan, hal
ini sangatlah penting. Dengan menjadikan hati dan spiritual sebagai fondamen,
dan dengan pola pikir yang kritis dalam menanggapi setiap permasalahan
pendidikan, baik permasalahan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi dan
informasi maupun permasalahan pendidikan yang disebabkan hal lain, maka
permasalahan pendidikan yang dihadapi tersebut akan dapat diselesaikan dengan
baik. Filsafat adalah ilmu kebijakan. Oleh karena itu, bagi para pelaku
pendidikan yang belajar filsafat akan selalu menggapai kebijakan dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada.
D. Daftar Pustaka
Imam Barnadib.
2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Sugihartono,
dkk. 2007. Psikologi Pendidikan.
Yogyakarta: UNY Press.
Suyitno. 2009. Landasan Filosofis Pendidikan. Departemen
Pendidikan Nasional: universitas pendidikan indonesia